JAKARTA, DerapAdvokasi.com – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menolak nota keberatan (eksepsi) yang diajukan oleh Danny Praditya, mantan Direktur Komersial PT Perusahaan Gas Negara (PGN), terkait dakwaan korupsi dalam kasus jual beli gas yang menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar USD 15 juta. Putusan sela ini dibacakan dalam sidang yang digelar pada Senin, 22 September 2025.
Dalam pertimbangannya, Hakim Anggota Sunoto menyatakan bahwa argumen kuasa hukum terdakwa mengenai ketidakjelasan uraian kerugian negara dalam surat dakwaan tidak beralasan. Pihak pembela sebelumnya menyatakan bahwa dakwaan tidak memenuhi syarat formil karena hanya mencantumkan perbuatan terdakwa “dapat” merugikan keuangan negara, yang menurut mereka bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang perlunya bukti kerugian negara yang nyata dan pasti. Namun, hakim menegaskan bahwa frasa tersebut adalah bagian dari unsur pidana yang diatur secara tegas dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Majelis Hakim menyebut bahwa surat dakwaan telah memuat uraian lengkap mengenai bagaimana kerugian negara timbul berdasarkan perhitungan resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan demikian, keberatan yang diajukan dinilai tidak memenuhi dasar hukum yang kuat. Ketua Majelis Hakim Rios Rahmanto kemudian membacakan amar putusan sela yang menyatakan eksepsi tidak dapat diterima, dan memutuskan untuk melanjutkan perkara ke tahap pemeriksaan pokok.
Dengan ditolaknya eksepsi tersebut, persidangan akan berlanjut pada Senin, 29 September 2025, dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi. Jaksa mendakwa Danny Praditya telah melakukan penyimpangan dalam transaksi jual beli gas antara PGN dan PT Inti Alasindo Energi (IAE) selama periode 2017 hingga 2021. Akibat perbuatannya, negara dirugikan sebesar USD 15 juta.
Selain kerugian negara, dakwaan juga menyebut adanya aliran dana ke sejumlah pihak yang turut diuntungkan. Di antaranya adalah Iswan Ibrahim sebesar USD 3,58 juta, Arso Sadewo sebesar USD 11,04 juta, Hedi Prio Santoso sebesar SGD 500 ribu, dan Yugi Prayanto sebesar USD 20 ribu. Aliran dana tersebut disebut sebagai bagian dari upaya memperkaya diri sendiri maupun orang lain, yang dilakukan dalam rangkaian perbuatan tindak pidana korupsi.
Atas dakwaan tersebut, Danny Praditya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jika terbukti bersalah, ia terancam hukuman penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan mantan petinggi di perusahaan strategis milik negara serta menimbulkan kerugian negara yang signifikan. Proses hukum selanjutnya akan menjadi penentu penting dalam mengungkap peran para pihak terkait serta upaya pemulihan kerugian negara dari transaksi gas yang bermasalah tersebut.