Hukum & KriminalKPK RINasional

Sidang Korupsi Gula Ricuh: Hotman Paris Vs Jaksa Soal Audit BPKP

26
×

Sidang Korupsi Gula Ricuh: Hotman Paris Vs Jaksa Soal Audit BPKP

Sebarkan artikel ini

JAKARTA, DerapAdvokasi.com – Persidangan lanjutan dalam kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan kembali berlangsung panas. Ketegangan memuncak ketika kuasa hukum terdakwa Tony Wijaya dari PT Angels Products, Hotman Paris, dan jaksa penuntut umum saling menyela saat pemeriksaan saksi ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Chusnul Khotimah. Ketegangan bermula ketika Hotman Paris mempertanyakan dasar perhitungan Cost Insurance Freight (CIF) yang digunakan untuk menentukan potensi kerugian negara dalam kasus tersebut. Hotman secara spesifik menanyakan apakah perhitungan CIF merujuk pada harga gula kristal putih (GKP) atau gula kristal mentah (GKM). Chusnul menjelaskan bahwa perhitungan dilakukan berdasarkan beragam dokumen dan data, bukan satu sumber tunggal. Namun, Hotman menilai bahwa jawaban tersebut tidak menjawab esensi pertanyaan dan terkesan menghindar.

Melalui perintah dari majelis hakim, Chusnul diminta maju untuk melihat dokumen yang dirujuk oleh Hotman. Setelah ditunjukkan lampiran audit BPKP, Chusnul membenarkan bahwa nilai CIF yang dipakai dalam laporan memang merujuk pada harga GKM ditambah tarif 10 persen. Bagi Hotman, hal ini menjadi poin penting karena ia berpendapat bahwa perhitungan CIF seharusnya didasarkan pada harga GKP, sesuai dengan jenis barang yang diimpor oleh kliennya. Ketika Hotman menyimpulkan bahwa saksi sudah terpojok dan mengakui perhitungannya berdasarkan GKM, jaksa langsung menyampaikan keberatan dengan suara tinggi, menyatakan bahwa kuasa hukum tidak berwenang menyimpulkan kesaksian ahli. Hotman tetap bersikeras bahwa ia berhak mengajukan protes. Suara dari kubu jaksa dan Hotman terus meninggi dan saling tumpang tindih, menciptakan kericuhan di ruang sidang.

Ketegangan memuncak ketika jaksa menyebut adanya penggunaan “bahasa rekayasa”, yang langsung dibalas oleh Hotman dengan nada serupa. Akibat keributan yang tidak kunjung reda, Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika mengetuk palu sebanyak tiga kali untuk menenangkan situasi. Hakim menegaskan bahwa masing-masing pihak harus menghormati jalannya persidangan dan berbicara secara bergantian sesuai prosedur. Hakim juga mengingatkan Hotman agar menggunakan kata-kata yang lebih sopan saat menyampaikan pertanyaan, sekaligus menegur jaksa agar menahan diri dan tidak memotong sesi tanya jawab sebelum waktunya. Setelah ketegangan berhasil diredam, sidang kembali dilanjutkan dalam suasana yang lebih kondusif.

Kasus ini menyeret banyak nama besar dan korporasi dalam industri gula. Tercatat, sembilan perwakilan korporasi masih menjalani proses hukum terkait dugaan korupsi pengadaan gula yang merugikan negara hingga Rp578 miliar. Salah satu nama besar yang sempat menjadi terdakwa adalah mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong. Ia sempat dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara oleh majelis hakim. Namun, pada 1 Agustus 2025, Tom dibebaskan usai menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto, yang secara hukum menghapus seluruh proses dan akibat hukum terhadap dirinya. Selain Tom, mantan Direktur PT PPI, Charles Sitorus, juga telah dinyatakan bersalah dan divonis 4 tahun penjara. Saat ini, sembilan terdakwa korporasi lain masih menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Mereka antara lain Tony Wijaya dari PT Angels Products, Then Surianto Eka Prasetyo dari PT Makassar Tene, Hansen Setiawan dari PT Sentra Usahatama Jaya, Indra Suryaningrat dari PT Medan Sugar Industry, Eka Sapanca dari PT Permata Dunia Sukses Utama, Wisnu Hendraningrat dari PT Andalan Furnindo, Hendrogiarto A. Tiwow dari PT Duta Sugar International, Hans Falita Hutama dari PT Berkah Manis Makmur, serta Ali Sandjaja Boedidarmo dari PT Kebun Tebu Mas. Proses hukum terhadap mereka terus berlanjut, dengan sejumlah dinamika sengit yang menunjukkan kompleksitas serta besarnya dampak dari kasus ini terhadap sektor pangan nasional.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *