Jakarta, DerapAdvokasi.Com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya indikasi penyimpangan serius dalam pengelolaan dana hibah oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim). Dalam periode 2023–2025, total dana hibah yang dikelola Pemprov Jatim mencapai Rp 12,47 triliun, disalurkan kepada lebih dari 20 ribu lembaga penerima.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa pengelolaan dana hibah tersebut minim transparansi dan terindikasi rawan penyelewengan. Salah satu temuan mencolok adalah verifikasi penerima yang tidak profesional, yang membuka peluang munculnya kelompok masyarakat (pokmas) fiktif dan duplikasi data penerima.
“KPK menemukan 757 rekening dengan kesamaan identitas, seperti nama, tanda tangan, dan NIK. Ini menunjukkan lemahnya verifikasi administrasi,” ungkap Budi, Senin (21/7/2025).
Selain itu, KPK juga menyoroti adanya pengaturan jatah hibah oleh oknum pimpinan DPRD, yang dianggap membuka ruang besar untuk penyalahgunaan wewenang. Bahkan, dana hibah dilaporkan dipotong hingga 30% oleh koordinator lapangan (korlap) — terdiri dari 20% sebagai ‘ijon’ untuk anggota DPRD dan 10% untuk keuntungan pribadi korlap.
Tak hanya itu, pelaksanaan program hibah di lapangan kerap kali tidak sesuai dengan proposal. Hal ini disebabkan oleh adanya pengkondisian proyek dari pihak luar serta pengawasan yang minim. Akibatnya, tercatat 133 lembaga penerima hibah melakukan penyimpangan, dengan nilai pengembalian sebesar Rp 2,9 miliar — dan Rp 1,3 miliar di antaranya belum dikembalikan.
Di sisi perbankan, Bank Jatim sebagai pengelola Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) juga dinilai belum memiliki sistem pencairan hibah yang aman. Penyaluran dana disebut dilakukan seperti transaksi biasa, tanpa melalui proses verifikasi keamanan yang memadai.
“Bank Jatim belum memiliki SOP yang jelas untuk pencairan hibah. Ini sangat berisiko,” tegas Budi.
Sebagai langkah perbaikan, KPK telah memberikan rekomendasi kepada Pemprov Jatim, mulai dari perbaikan tata kelola hibah, penajaman kriteria penerima berbasis indikator terukur, hingga digitalisasi sistem hibah agar dapat diakses publik secara transparan dan real-time.
“Hibah daerah seharusnya menjadi alat pembangunan yang bersih, tepat sasaran, dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat,” tutup Budi.