OGAN KOMERING ULU, DerapAvokasi.com – Tiga anggota DPRD Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, untuk sementara dicopot dari jabatannya karena tersangkut dugaan kasus korupsi terkait pengelolaan dana pokok pikiran (pokir) yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Kasus ini menjadi sorotan karena menyoroti praktik kompromi politik yang telah menggerogoti sistem penganggaran daerah secara sistematis.
Ketiganya adalah Ferlan Juliansyah, M. Fahrudin, dan Umi Hartati. Mereka dituding terlibat dalam manipulasi anggaran proyek fisik dalam Rancangan APBD OKU tahun 2025 melalui jatah pokir, yang seharusnya menjadi aspirasi masyarakat namun disulap menjadi ladang keuntungan pribadi. Pemberhentian sementara ini tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan dengan nomor 687/KPTS/I/2025. Dengan status nonaktif, proses pergantian antar waktu (PAW) untuk ketiganya tengah dipersiapkan oleh masing-masing partai politik pengusung.
PPP, Hanura, dan PDIP sebagai partai yang menaungi ketiganya telah menyatakan kesiapan untuk memproses PAW. Beberapa pimpinan partai di tingkat kabupaten menyebut bahwa meskipun proses administrasi masih berjalan, komitmen partai terhadap integritas tetap menjadi prioritas utama. Keputusan ini menjadi sinyal kuat bahwa partai politik tak akan mentolerir keterlibatan kadernya dalam kasus hukum yang mencoreng citra lembaga legislatif.
Kasus ini mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyelidikan intensif atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam proses penyusunan APBD. Ketiganya, yang menduduki posisi strategis di Komisi II dan III DPRD OKU, diduga melakukan intervensi dalam penganggaran proyek fisik di bawah kendali Dinas PUPR OKU. Proyek tersebut awalnya bernilai Rp40 miliar namun disesuaikan menjadi Rp35 miliar karena keterbatasan fiskal. Meski begitu, nilai “jatah” yang disepakati tetap utuh, yakni 20 persen atau sekitar Rp7 miliar.
Tak hanya para wakil rakyat, Kepala Dinas PUPR OKU, Nov, serta dua pihak swasta bernama MFZ dan ASS juga ikut ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga ikut memainkan peran penting dalam pengaturan proyek agar sesuai dengan permintaan para anggota dewan. Tak lama setelah penyidikan berlangsung, KPK melakukan operasi tangkap tangan yang mengamankan barang bukti berupa uang tunai Rp2,6 miliar, yang disinyalir merupakan bagian dari fee proyek yang telah dibagikan.
Dari hasil penyelidikan, KPK menemukan bahwa anggaran Dinas PUPR melonjak tajam, dari sebelumnya Rp48 miliar menjadi Rp96 miliar. Lonjakan ini dianggap tidak wajar dan diyakini sebagai bagian dari skema kompromi antara pihak eksekutif dan legislatif untuk memuluskan proyek-proyek titipan. Pengalihan jatah pokir menjadi proyek konkret dengan pembagian fee mengindikasikan praktik korupsi yang berlangsung secara terstruktur dan melibatkan berbagai pihak.
Saat ini, proses hukum terhadap para tersangka tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Palembang. Keputusan untuk memberhentikan sementara para anggota dewan tersebut dianggap sebagai bentuk respons cepat terhadap dugaan pelanggaran etika dan hukum. Meski baru bersifat sementara, tindakan ini menunjukkan bahwa pengawasan terhadap lembaga legislatif tak bisa dianggap remeh.
Kasus ini menjadi peringatan keras bahwa kewenangan menyusun anggaran bukanlah ruang untuk memperkaya diri, melainkan amanah rakyat yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Dengan sorotan publik yang terus meningkat, jalannya proses hukum akan menjadi ujian nyata bagi komitmen pemberantasan korupsi di tingkat daerah. Masyarakat pun kini menaruh harapan agar proses pengadilan mampu membongkar seluruh praktik gelap yang terjadi di balik kemegahan rapat-rapat anggaran.












