JAKARTA, DerapAdvokasi.com – Langkah hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menindaklanjuti dugaan korupsi besar-besaran yang melibatkan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) semakin konkret. Pada Selasa, 7 Oktober 2025, tim penyidik Kejagung menyita enam bidang tanah yang tersebar di Solo dan Karanganyar, Jawa Tengah. Total lahan yang disita mencapai 20.027 meter persegi.
Penyitaan tersebut dilakukan sebagai bagian dari proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi sekaligus tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan Sritex dan beberapa anak usahanya. Kejagung juga secara resmi memasang plang penyitaan di lokasi-lokasi yang telah ditentukan. Proses berlangsung aman dan lancar, berkat dukungan dari Kejaksaan Negeri Karanganyar, personel Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surakarta dan Karanganyar, aparat TNI setempat, serta perangkat desa dan kelurahan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, menjelaskan bahwa aset yang disita meliputi satu bidang tanah dan bangunan seluas 389 meter persegi di Kelurahan Setabelan, Banjarsari, Kota Surakarta, serta satu bidang tanah dengan vila seluas 3.120 meter persegi di kawasan wisata Tawangmangu, Karanganyar. Selain itu, empat bidang tanah kosong di berbagai kelurahan di Kecamatan Karanganyar, seperti Sroyo, Kemiri, dan Kebakkramat, juga ikut diamankan sebagai barang bukti.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan dua nama besar dari keluarga pemilik Sritex sebagai tersangka utama, yakni Iwan Kurniawan Lukminto (IKL) dan Iwan Setiawan Lukminto (ISL). Keduanya diduga kuat terlibat dalam praktik pencucian uang terkait penyalahgunaan fasilitas kredit dari berbagai bank.
Tak hanya pihak internal Sritex, jajaran bank yang memberikan kredit kepada perusahaan tekstil tersebut juga turut terseret. Hingga saat ini, Kejagung telah menetapkan sepuluh tersangka lainnya, yang mayoritas berasal dari kalangan perbankan. Mereka adalah mantan Direktur Utama Bank DKI Zainuddin Mappa, mantan pimpinan divisi di Bank BJB Dicky Syahbandinata, dan eks Direktur Keuangan Sritex, Allan Moran Severino.
Turut pula menjadi tersangka beberapa nama yang pernah menduduki posisi strategis di Bank DKI, Bank BJB, dan Bank Jateng, seperti Babay Farid Wazadi, Pramono Sigit, Yuddy Renaldi, Benny Riswandi, Supriyatno, Pujiono, dan Suldiarta. Para tersangka ini disebut berperan dalam meloloskan atau menyetujui pencairan kredit yang diduga tidak memenuhi prinsip kehati-hatian perbankan.
Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp 1,08 triliun. Kredit yang diberikan oleh tiga bank daerah—Bank Jateng, Bank BJB, dan Bank DKI—dengan total mencapai lebih dari Rp 1 triliun, semestinya digunakan untuk kegiatan produktif perusahaan. Namun, menurut Kejagung, dana tersebut justru dipakai untuk melunasi utang ke pihak ketiga dan membeli aset yang tidak berkontribusi terhadap pertumbuhan bisnis.
Adapun rincian kredit yang diterima PT Sritex antara lain: Bank Jateng sebesar Rp 395 miliar, Bank BJB senilai Rp 543 miliar, dan Bank DKI Jakarta sekitar Rp 149 miliar. Semuanya kini menjadi objek penyidikan lebih lanjut untuk memastikan apakah terjadi pelanggaran hukum dalam proses pencairannya.
Tak berhenti sampai di sana, Kejagung juga tengah menyelidiki sindikasi kredit lainnya dari bank-bank besar seperti BNI, BRI, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Ketiga institusi keuangan ini diketahui telah memberikan pinjaman sindikasi senilai Rp 2,5 triliun kepada Sritex. Status mereka kini masih dalam tahap pendalaman untuk melihat apakah ada unsur pidana yang turut melibatkan pihak-pihak di dalamnya.
Proses hukum terhadap kasus Sritex ini menjadi salah satu sorotan utama dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor korporasi dan keuangan nasional. Penyitaan aset di Solo dan Karanganyar menjadi langkah nyata Kejagung dalam mengamankan kerugian negara sekaligus membuka jalan bagi pemulihan aset di masa depan.
Korupsi Kredit Sritex Seret 12 Tersangka, Termasuk Eks Petinggi Tiga Bank Daerah
