MEDAN, DerapAdvokasi.com – Dua mantan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Sumatera Utara resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumut atas dugaan keterlibatan mereka dalam kasus korupsi pengalihan lahan negara seluas lebih dari 8.000 hektare. Penahanan dilakukan setelah penyidik tindak pidana khusus menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menjerat para tersangka.
Kedua tersangka adalah ASK, mantan Kepala Kantor Wilayah BPN Sumatera Utara periode 2022–2024, dan ARL, mantan Kepala Kantor BPN Kabupaten Deli Serdang periode 2023–2025. Mereka ditahan di Rutan Kelas I-A Tanjung Gusta Medan untuk 20 hari ke depan guna kepentingan penyidikan lebih lanjut.
Kasus ini bermula dari dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan sertifikat hak guna bangunan (HGB) atas nama PT Nusa Dua Propertindo (NDP). Dalam aturan yang berlaku, setiap alih fungsi lahan dari hak guna usaha (HGU) ke HGB wajib menyisihkan minimal 20 persen dari total lahan kepada negara, untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum atau reforma agraria.
Namun, selama masa jabatan kedua pejabat tersebut, diduga telah dilakukan persetujuan penerbitan sertifikat kepada PT NDP tanpa kewajiban pengembalian 20 persen lahan kepada negara. Lahan yang seharusnya kembali ke negara itu kemudian dikembangkan atau dialihkan oleh perusahaan lain, yakni PT Dwi Mitra Kencana Raya (DMKR), tanpa adanya kontribusi apa pun kepada negara.
Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Sumut, Mochamad Jeffry, menyatakan bahwa praktik ini jelas merugikan negara dari sisi aset maupun keuangan. Negara kehilangan hak atas ribuan hektare lahan yang secara hukum seharusnya menjadi milik publik kembali setelah alih fungsi dari status HGU.
“Modusnya adalah penerbitan sertifikat HGB secara tidak sah, tanpa dipenuhi kewajiban konversi 20 persen kepada negara,” ujar Jeffry. Ia menambahkan bahwa praktik ini membuka celah spekulasi lahan, memperkaya pihak swasta, dan melemahkan sistem reforma agraria.
Akibat perbuatannya, ASK dan ARL dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 junto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukumannya lebih dari lima tahun penjara.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana praktik korupsi pertanahan terus menjadi tantangan besar dalam tata kelola agraria di Indonesia. Meski reformasi pertanahan terus digaungkan, celah birokrasi masih memungkinkan terjadinya permainan antara pejabat dan korporasi untuk mengambil alih lahan negara tanpa prosedur sah.
Kejati Sumut menegaskan bahwa penyidikan akan terus dikembangkan untuk mengusut kemungkinan keterlibatan pihak lain dalam rantai pengalihan aset ini. Proses hukum terhadap kedua mantan pejabat ini diharapkan menjadi pintu masuk untuk membersihkan praktik korupsi di sektor pertanahan yang selama ini dikenal rawan penyimpangan.












