KETAPANG, DerapAdvokasi.com – Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang ditujukan untuk meningkatkan asupan gizi anak sekolah kembali menjadi sorotan publik setelah serangkaian kasus keracunan massal terjadi. Salah satu insiden terbaru dialami oleh puluhan siswa SDN 12 Benua Kayong, Ketapang, Kalimantan Barat, usai menyantap hidangan berbahan dasar daging ikan hiu yang diolah dalam bentuk nugget. Gejala seperti muntah, sesak napas, dan demam mulai dirasakan tak lama setelah konsumsi, bahkan beberapa siswa dan satu guru harus mendapatkan perawatan di rumah sakit.
Pihak MBG wilayah Kalbar menyebut bahwa pemilihan menu ini merupakan keputusan ahli gizi di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), namun tak membantah risiko dari konsumsi ikan hiu. Penonaktifan salah satu kepala dapur MBG dilakukan sambil menanti hasil investigasi lebih lanjut dari Badan Gizi Nasional (BGN). Sementara itu, BGN menegaskan bahwa menu MBG disesuaikan dengan kearifan lokal, dan menyebut bahwa konsumsi ikan hiu merupakan hal yang umum di wilayah tersebut. Namun, menu ikan hiu telah diberikan sebanyak dua kali sejak program ini berjalan di daerah tersebut.
Meski demikian, para pakar kesehatan mengingatkan tentang risiko serius dari konsumsi ikan hiu. Sebagai predator puncak dalam rantai makanan laut, hiu menyimpan kandungan logam berat seperti merkuri, arsenik, dan timbal yang sangat tinggi akibat proses bioakumulasi. Selain itu, daging hiu juga mengandung urea dan zat racun seperti ciguatoxins yang dapat mengganggu fungsi saraf dan ginjal manusia. Konsumsi dalam jumlah besar atau berulang dapat menyebabkan kejang, kerusakan otak, hingga gangguan pertumbuhan kognitif pada anak.
Risiko ini semakin diperparah dengan kurangnya jaminan bahwa pengolahan ikan hiu di dapur MBG memenuhi standar keamanan pangan. Misalnya, suhu pengolahan minimal 80 derajat Celsius untuk menonaktifkan toksin, belum tentu dicapai dalam proses masak massal yang cepat. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius apakah protokol keamanan pangan benar-benar diterapkan dengan ketat di lapangan.
Menurut data dari FDA, kandungan merkuri dalam ikan hiu bisa mencapai angka yang jauh melebihi ambang batas aman, bahkan dilarang untuk dikonsumsi oleh ibu hamil dan anak-anak karena berisiko tinggi bagi perkembangan sistem saraf. Di Indonesia sendiri, Peraturan Menteri Kesehatan membatasi kadar merkuri dalam darah maksimal hanya 0,5 mikrogram per 100 ml darah — standar yang sangat mudah terlampaui jika ikan hiu dijadikan makanan harian.
Berbagai pihak mulai menyoroti kegagalan sistematis dalam perencanaan dan pelaksanaan program MBG. CEO CISDI, Diah Saminarsih, menilai bahwa keputusan menyertakan daging hiu dalam menu MBG mencerminkan kurangnya kajian kesehatan dan ketidaksiapan program dalam memenuhi standar gizi yang berkelanjutan. Ia juga menegaskan bahwa banyak alternatif sumber protein hewani lokal yang lebih aman dan layak dikonsumsi dibandingkan ikan hiu.
CISDI menyarankan agar pemerintah tidak hanya melakukan evaluasi menyeluruh, tetapi juga segera menetapkan regulasi setingkat Perpres untuk memperjelas pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat, daerah, penyedia makanan, dan sekolah. Hal ini penting untuk menjamin bahwa kualitas, pengawasan, dan keamanan pangan dalam program MBG dapat berjalan sesuai standar nasional.
Keracunan akibat MBG bukanlah kasus tunggal. Berdasarkan data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), korban keracunan MBG telah mencapai 6.452 anak per akhir September 2025. Jumlah ini melonjak tajam dalam kurun waktu hanya satu minggu. Sebagai respons, BGN telah menutup setidaknya 40 dapur MBG yang terbukti melanggar SOP. Dalam pernyataan resminya, BGN menyampaikan permintaan maaf terbuka dan menjamin bahwa seluruh biaya pengobatan korban akan ditanggung sepenuhnya oleh negara.
Selain itu, pemerintah membuka saluran pengaduan bagi masyarakat yang ingin melaporkan keluhan atau bertanya seputar pelaksanaan MBG. Upaya ini dilakukan sebagai bagian dari proses transparansi dan perbaikan berkelanjutan terhadap program yang menyasar kebutuhan dasar anak-anak di seluruh Indonesia.
Insiden keracunan akibat ikan hiu dalam menu MBG menunjukkan perlunya perombakan besar dalam tata kelola program makan gratis di sekolah. Kesehatan anak tidak bisa dikompromikan atas nama kearifan lokal atau efisiensi distribusi. Ke depan, evaluasi menyeluruh dan pendekatan berbasis sains serta partisipatif dari masyarakat adalah kunci untuk mencegah tragedi serupa terulang kembali.