JAKARTA, DerapAdvokasi.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap praktik suap di lingkaran peradilan tinggi Indonesia. Kali ini, KPK menetapkan Direktur PT Wahana Adyawarna, Menas Erwin Djohansyah, sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA). Penetapan ini merupakan kelanjutan dari penyelidikan terhadap skandal besar yang melibatkan sejumlah pejabat hukum di Indonesia.
Menas ditangkap oleh tim penyidik KPK pada Rabu, 24 September 2025, di sebuah rumah kawasan BSD, Tangerang Selatan, setelah dua kali mangkir dari panggilan pemeriksaan. Penangkapan tersebut dilakukan setelah KPK resmi menetapkannya sebagai tersangka dan melakukan penggeledahan serta pemeriksaan intensif. Kini, Menas menjalani masa penahanan awal selama 20 hari di Rutan Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK, terhitung sejak 25 September hingga 14 Oktober 2025.
Dalam konstruksi perkara yang disusun KPK, Menas diduga kuat menjadi perantara antara pihak-pihak pencari keadilan dengan Hasbi Hasan, Sekretaris Mahkamah Agung periode 2020–2023. Perkenalan antara Menas dan Hasbi difasilitasi oleh seseorang berinisial FR, yang ingin mengurus perkara temannya yang sedang berada di tingkat kasasi. Komunikasi awal antara mereka dilakukan di tempat umum, namun kemudian berlanjut ke lokasi tertutup yang diatur oleh Menas.
Antara Maret hingga Oktober 2021, terjalin sejumlah pertemuan strategis antara Menas, FR, dan Hasbi Hasan. Dalam pertemuan-pertemuan itu, Menas diduga menyampaikan permintaan bantuan hukum untuk menyelesaikan lima perkara strategis yang tersebar di berbagai wilayah, mulai dari Bali, Jakarta Timur, Depok, Sumedang, Menteng, hingga Samarinda yang berkaitan dengan sengketa lahan dan pertambangan.
Hasbi Hasan dikabarkan menyanggupi permintaan tersebut, dengan kesepakatan adanya pembayaran yang dibagi ke dalam beberapa tahapan: uang muka, biaya proses, hingga pelunasan jika perkara berhasil dimenangkan. Namun tidak semua upaya tersebut membuahkan hasil. Sejumlah klien Menas yang kasusnya gagal dimenangkan, justru meminta uang yang telah diserahkan kepada Hasbi dikembalikan, sehingga memunculkan konflik internal di antara para pihak yang terlibat.
Atas perbuatannya, Menas dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, serta Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001. Pasal tersebut mengatur tentang pemberian suap kepada penyelenggara negara dalam rangka memengaruhi keputusan atau tindakan hukum tertentu.
Kasus ini juga memperkuat posisi Hasbi Hasan sebagai tersangka utama dalam pusaran korupsi yang diduga telah merusak integritas lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Penetapan Menas Erwin sebagai tersangka menjadi sinyal bahwa KPK masih berkomitmen mengusut tuntas praktik mafia hukum yang membahayakan keadilan dan supremasi hukum di tanah air.
Publik kini menantikan langkah-langkah lanjutan dari KPK untuk membuka semua keterlibatan pihak lain dalam jaringan suap ini. Kasus ini bukan hanya ujian bagi integritas MA, tetapi juga menjadi cermin bahwa praktik suap dan percaloan hukum masih menjadi tantangan besar dalam sistem peradilan Indonesia.